February 17, 2014

Mas Rohis

Saya lumayan suka pergi ke panti pijat tunanetra bila tubuh sangat lelah. Suatu hari saya bertemu dengan Mas Rohis, tukang pijat di panti pijat tunanetra Tongkat Putih di dekat rumah saya. Tak seperti tukang pijat yang lain, Mas Rohis bercerita kepada saya bahwa ia suka membuat puisi dan menulis cerita-cerita pendek. Ia juga suka membaca Gema Braille, majalah khusus para tunanetra. Beberapa tulisannya bahkan dimuat di majalah itu.

Sepanjang pertemuan itu kami bercakap panjang lebar tentang minat kami yang sama. Dia merasa senang karena menemukan pasien seperti saya. Saya juga senang, bercampur takjub. Mas Rohis meminta saya bila datang di lain waktu, saya membawakan karya-karya saya. Ia ingin saya membacakannya buatnya.

Sayang, dua minggu setelah pertemuan itu, ketika saya kembali ke panti pijat Tongkat Putih, ia telah pulang ke daerah asalnya di Madiun. Saya agak kecewa. Memang, seperti sebuah kata-kata bijak: ada seseorang yang melintas sesaat dalam kehidupan kita, namun menyisakan jejak yang terhapuskan.

Saya singkirkan kekecewaan itu, saya berupaya memetik hikmah yang penting dari pertemuan itu. Mas Rohis, walaupun buta tetap aktif berkreasi. Ini yang seharusnya direnungkan oleh kita yang tidak buta. Dengan sepasang mata ini, kita dapat menyaksikan keindahan yang Tuhan berikan. Kedua mata ini adalah aset yang luar biasa karena berpotensi untuk membantu kita menjalani kehidupan ini. -- Sidik Nugroho

"Apa yang menarik minat kita untuk dilihat sebenarnya berawal dari hati kita. Hati yang bersih mengingini tontonan dan pemandangan yang bersih."

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.