January 26, 2014

Sabune Babu

Dosen saya yang lucu suatu ketika mengomentari sebuah merek sabun. "Iku sabune babu biyen... (Itu sabunnya babu dulu...)," katanya. Kalau tidak salah ini terjadi di matakuliah Studi Masyarakat Indonesia waktu saya kuliah beberapa tahun lalu.

Merek sabun yang ia sebut dan kami tertawakan sedang mengalami perubahan. Waktu itu, sabun itu, dengan model iklan yang baru, sedang mengubah citranya sebagai sabun elegan dari sabune babu. Kini, bahkan modelnya berubah lagi. Ia aktris yang amat ternama. Iklannya terkesan glamor dan gencar ditayangkan. Sabune babu tampaknya kian populer, dan mungkin juga kian diminati.

Suatu ketika saya iseng-iseng beli sabun itu beberapa bulan lalu. Yang berubah hanya luarnya, alias bungkus sabunnya. Sabunnya sendiri, berikut wanginya, juga bentuknya, tak berubah: sabune babu.

Kontras dengan pemaparan dan lelucon di atas, seorang penulis kitab bernama Paulus mensyukuri kelemahan dan kemerosotan dalam dirinya. Walaupun kondisi tubuh yang membungkusnya tua, renta, terpenjara dan menderita, roh yang ada dalam dirinya selalu membara.

Kehidupan kita, apakah mirip seperti bintang iklan sabun itu? Kita mengutamakan tampilan luar: kita berupaya tampak awet muda, lebih cantik atau tampan, lebih segar dan berseri-seri. Kita rajin pergi ke salon, rajin olahraga, langganan berbagai jenis perawatan, dan lain-lain. Kelak, tubuh ini -- yang hanya merupakan bungkus sementara dari diri kita yang sebenarnya -- akan kita tinggalkan. Sudah saatnya kita memberi perhatian pada diri kita yang sebenarnya. -- Sidik Nugroho
   
"Kebijaksanaan mengacu pada pengupayaan pencapaian tujuan-tujuan yang paling baik dengan cara-cara terbaik."
~ Frances Hutcheson ~